Monday, May 23, 2016

The Walking Dad ep.3 : "Album"

Pernikahan tidak selamanya berjalan mulus, terkadang kau merasakan bahwa sendiri adalah sesuatu yang menyenangkan, dan terkadang kau merasakan bahwa kau merasa terkekang oleh pasanganmu. Bahkan tak heran sebuah pernikahan berakhir dengan sebuah perceraian.

Seperti yang dialami olehku, sudah 4 tahun aku dan istri ku berpisah. Kami merasa bahwa hubungan kami tidak akan berjalan dengan baik. Hubungan rumah tangga kami hanya selama 5 tahun 8 bulan saja. Ketika anakku, Maisie berusia 4 tahun, kami memutuskan untuk bercerai.

Pengadilan memberikan hak asuh Maisie pada mantan istriku, Helen. Aku sedikit kecewa terhadap hasil pengadilan namun itu semua sudah menjadi kesepakatan bersama dengan memperhatikan banyak sekali pertimbangan.

Untuk beberapa bulan pertama aku masih tidak memikirkan apa-apa, aku bisa lebih fokus terhadap pekerjaanku, memulai karir yang lebih tinggi lagi, dan kembali ke masa muda ku. Namun itu semua tak bertahan lama.

sekitar 1 bulan setelah perceraian kami, aku menemukan sebuah album. Album merah muda dengan gambar bunga sebagai sampul nya, cukup indah kulihat bentuknya.
Satu persatu ku buka album itu, banyak sekali foto tentang aku dan Helen. Begitu romantis aku bersamanya, ketika pertama kali kami saling jatuh cinta, merasakan indahnya masa-masa remaja, foto pernikahan kami, dan foto-foto kenangan lainnya.

Setiap gambar ku perhatikan satu-satu, aku selalu tersenyum mengingat kejadian pada foto itu. Betapa indahnya masa lalu, perlahan hatiku mulai terbuka kembali. Selalu saja ada pertanyaan yang tersirat dalam hatiku, "Apakah keputusan yang tepat jika aku berpisah dengannya? Bagaimana keadaan Maisie?" Pertanyaan yang sama selalu terlukis di dalam hatiku.

Beranjak tubuhku dari kursi, ku ambil kunci mobil ku dan bergegas menuju rumah Helen.

"Sial, aku sangat merindukan mereka berdua!" Gerutu ku dalam hati.

Setibanya di rumah Helen, aku menekan lonceng rumah itu, pertama kali ku tekan tak ada jawaban dari dalam. Apa mungkin Helen sedang pergi? Tapi kurasa tidak, aku melihat mobilnya terparkir di halaman rumahnya. Sentuhan kedua masih tidak ada jawaban, namun ketika sentuhan ketiga, dia berdiri disana.

Helen membuka pintu dan memandangku dari dalam balkon rumah. Bersama dengan Maisie didalam pelukannya, ia berjalan menghampiriku.

"John..." Ucap Helen.

"Hai, Helen.. Apa kabar?" Sesak dan gugup bercampur aduk di dalam hatiku.

"Aku, aku baik-baik saja. Ada apa kau kemari?" Tanya Helen.

"Aku merindukanmu dan Maisie. Aku ingin tahu kabar kalian, makanya aku datang kemari." Jelasku.

Helen membukakan pintu dan menarik lengan John.

"John, maaf tapi kurasa kau datang di saat yang tidak tepat."

"Ada apa?"

"Aku...."

Belum sempat Helen menjelaskan, seseorang memanggilnya dari dalam rumah. Suaranya lantang dan keras, lebih tepatnya suara seorang pria. Ia berjalan dari dalam rumah menuju tempat aku dan Helen berdiri. Ia menghampiriku.

"Hai, sayang. Ada apa?" Ucap pria tersebut.

"Sayang?" Aku dengan sedikit heran melihat kearah Helen. Namun dia hanya bisa memandang balik padaku.

"Um, John biar kujelaskan. Dia adalah tunanganku, Howard. Howard... ini adalah John. Mantan suamiku."

"Kenapa kau kemari?" Howard memandang John dengan tajam.

"Oh, uh... tidak. Tidak apa-apa, aku kemari ingin melihat anakku, Maisie. Dan aku berniat untuk mengembalikan album ini. Ini adalah album kelahiran Maisie. Tertinggal tepat di lemari rumahku, mohon diterima."

Perasaan sakit terlukis jelas di dalam hatiku, entah apa yang membuatku seperti itu, namun lucu rasanya jika aku merasa sedikit "cemburu" pada Helen. Ia menemukan penggantiku sangat cepat.

Waktu pun terasa cepat berlalu, kini Maisie memiliki seorang adik dari perkawinan Helen dan Howard. Helen terlihat lebih hidup bersama Howard, dan Howard adalah pria yang baik. Dia melindungi mereka dan selalu ada kala ia membutuhkannya. Jelas dia lebih baik dariku, dan aku bersyukur jika Maisie dan Helen berada didalam pelukan Howard.

Mungkin ini adalah langkah terbaik mereka berdua. Dan yang perlu kulakukan adalah belajar menerima semuanya.

Saturday, May 14, 2016

The Walking Dad ep. 2 "Super Dad"

Aku dan karir ku seperti bisa digambarkan seperti roti daging. Saling melekat satu sama lain, bertumpuk dan memiliki warna yang beda-beda. Aku menikmati hari-hariku seperti kebanyakan orang, yah meskipun cara pandangku menikmati hari-hari benar-benar berbeda dengan kebanyakan orang lain.

Aku memiliki 2 anak kembar, Mika (perempuan) dan Arne (laki-laki). Usia mereka menginjak 11 tahun hari ini. Dan mereka sangat suka sekali baseball.

14 Mei 2016, lebih tepatnya esok hari, tim baseball kesukaan mereka, Red Sox akan bermain di partai final melawan Yankees, 2 Minggu sebelumnya aku sudah berjanji pada mereka untuk menonton pertandingan final tersebut bersama-sama. Namun sehari setelah aku mengucap janji itu, perusahaan mengirimku ke cabang Berlin, Jerman pada tanggal 18 Mei. Sial sekali, aku diberangkatkan pada tanggal yang sama seperti tanggal pertandingan tersebut.

Aku terus merahasiakan ini, ketika Mika dan Arne bertanya tentang pertandingan tersebut, aku selalu mengatakan,

"Ya, kita akan menonton pertandingan itu. Aku berjanji."

Setiap kali, setiap waktu mereka bertanya hal itu, jawabanku masih tetap sama. Aku membicarakannya pada istriku, namun jawabannya menurutku benar-benar tidak membantu. Justru berkesan membuatku menjadi lebih bingung.

Suatu hari aku menghadap pada manager ku untuk menolak tawaran tersebut. Namun dengan nada menyindir, bos mengatakan jika aku tidak boleh menolak tawaran itu. Bahkan ia bilang akan memecatku ketika aku menolak tawaran menuju berlin tersebut.

"Pikirkanlah masa depan mu disini, kau tidak bisa berada 2 peran sekaligus. Kau harus korbankan 1, dan kuharap kau bisa profesional. Kami mengandalkanmu."
Setibanya di rumah, kudapati Mika dan Arne sedang tertidur lelap. Mengenakan jersey Red Sox kebanggaan mereka, spanduk dan sarung tangan baseball. Bahkan Arne tertidur sambil memeluk tongkat baseball kesayangannya. Aku memperhatikan mereka, mereka begitu ingin menonton final itu bersamaku.

"Kau sudah memutuskan?" Tanya istriku.

"Ya." Jawabku. "Mungkin ini adalah salah satu keputusan yang akan aku sesali kelak."

Istriku memelukku dari belakang, "Kau seorang ayah, dan kau juga bekerja. Mereka akan mengerti itu."

"Pesawat akan berangkat esok pagi jam 6, tepat sebelum mereka bangun. Sedangkan pertandingan akan dimulai pada jam 10."

"Aku bangga padamu... Aku menyayangimu." Ia tersenyum dan menciumku.

"Aku juga menyayangimu." Dan malam itu pun berlalu dengan sangat cepat...

Mika dan Arne berlari ke kamarku. Wajahnya sangat gembira seperti anak-anak pada umumnya. Dan ketika ia membuka kamarku, aku tidak ada disana...
Mereka berlari ke dapur untuk sarapan pagi, istriku berdiri disana sambil menyiapkan sarapan.

"Ibu, kemana ayah?" Tanya Mika.

"Oh... eh, ayah..."

Kemudian aku berjalan ke arah meja makan, lengkap mengenakan pakaian tim Baseball Yankees ku. Oh ya, aku lupa bilang kenapa ini menjadi pertandingan terpenting bagi anak-anakku. Karena tim baseball favorit mereka akan melawan tim baseball favorit ku. Dan kalian berpikir jika aku akan melewatkan pertandingan sepenting ini?

"Nah itu dia... Bagiamana mobilnya?"

"Sangat buruk, mesinnya rusak cukup parah. Masih bisa berjalan tapi tidak akan mulus. Sebaiknya kami berangkat sekarang dan pergi naik bis."
Mika dan Arne menatapku dan tersenyum,

"Ayah tidak berangkat kerja? Semalam ibu bilang jika kau mungkin punya pekerjaan penting hari ini."

"Dan meninggalkan kedua anakku untuk menonton pertandingan bersejarah paling penting ini? Kalian pasti bercanda, bukan?"

Yah... kalian pasti bercanda, kan? Aku mungkin cukup bodoh untuk tidak mengambil kesempatan emas dalam karir ku, tapi aku sangat jenius dalam menentukan pilihanku. Keluarga sangat berarti bagiku, ibu yang akan memasakkan makanan untuk anak-anakku, sedangkan tugas seorang ayah? Menonton pertandingan baseball yang paling penting bersama kedua anaknya.

1 Minggu setelah aku resign dari pekerjaan lamaku, aku menemukan sebuah perusahaan IT dan mencoba bekerja disana, jaraknya tidak begitu jauh dari perusahaan lama ku. Dan jelas gaji nya tidak sebaik pekerjaan lama ku, namun itulah hidup...
==========================================
Created by:
Aped

Tuesday, May 3, 2016

Sacrifice



Menunduk... laki-laki itu menunduk lesu di hadapan sebilah pedang yang ia tinggalkan, tertancap rapi dalam pelukan tanah basah, berselimut ribuan tetesan hujan.

"Han Seo..."

Panggilan dari teman-temannya tidak ia indahkan, mereka mengerti betapa menyesalnya ia, kami pun merasakan hal yang sama.

"Ayo..."

Tetap tidak ia hiraukan. Telinganya seolah tertutup oleh teriakan A Jin, sahabat seperjuangannya. A Jin kehilangan sahabatnya setelah pertempuran sengit di jembatan Daengseoul, pertempuran tersebut berlangsung selama 1 hari penuh. Meskipun kemenangan menjadi milik kubu Seon Jin, tapi harga yang harus dibayarkan sangatlah mahal.

"Kami berjanji akan menikmati kemerdekaan kami bersama-sama, kami berjanji untuk minum bersama setelah pertempuran ini usai, dan bahkan kami berjanji untuk melakukan duel terakhir kami setelah kemerdekaan nanti."

Han Seo meratap. Tetesan air matanya bercampur dengan hujan dan darah yang menetes dari tubuhnya.

"Sudahlah Han Seo... Aku mengerti perasaanmu, tapi dia sudah mati..."
Han Seo berbalik dan mencabut pedangnya, bilah pedang tertajam mengarah pada leher temannya. Tatapan bengis terlihat dari sudut matanya, bukan... itu bukan tatapan bengis. Hanya tatapan kesedihan dari seorang ksatria yang ditinggal oleh sahabatnya.

"Siapa yang kau maksud mati, hah?!"

"Hadapilah kenyataannya, dia sudah pergi." Dong Baek San menurunkan pedangnya...

"Dia hanya istirahat... untuk waktu lama. Dia akan kembali!" Ucap Han Seo.

Perlahan, Dong Baek San mendorong pedangnya untuk diturunkan. Ia memluk Han Seo dengan erat, yang ia lakukan hanyalah menerima semua kesedihan tersebut bersama dengannya. Mereka sangat dekat, jauh lebih dekat... Tak terbayangkan betapa besar kesedihan yang ia rasakan.

"Aku tahu, aku tahu... namun perlahan pun kau harus menerima kenyataan bahwa ia telah tiada. Cepat atau lambat. Yang perlu kau lakukan hanyalah memastikan jika kematiannya tidak akan sia-sia. Jika kau ingin menangis, menangislah... Tapi ketika kau sudah selesai, bangkit dan bayar kembali kematiannya dengan perjuanganmu."

Ia merunduk menangis...

===============================================================

@Created by: Aped