Tuesday, May 5, 2015

Perfect Happiness

"Dreamer"

Suatu sore, aku terduduk di pinggiran trotoar, di sebuah jalanan raya nan besar yang padat akan kendaraan mewah berlalu lalang di muka. Jelaga hitam, bunyi bising dari klakson, dan suara pacuan gas terdengar dari mesin-mesin kuda tersebut bak instrumen musik merdu di sore hari melengkapi keseharian ibu kota. Aku terpaku diam di sana, menantikan sang mata tiga menunjuk warna merah guna menghentikan raksasa-raksasa berkuda itu berdiam diri di dekat trotoar itu.

"Pak... Korannya, pak". Ku ketuk salah satu kaca pada kendaraan itu, kucoba jajali lembaran demi lembaran surat kabar yang ku pegang sejak pagi tadi. Berharap seorang dermawan mau mengulurkan tangannya dan membeli apa yang ku jual, namun, sepertinya harapanku hanya akan menjadi angan belaka.



Terkadang aku berpikir, mengapa Tuhan menempatkanku pada posisi terhina ini? Usiaku terbilang muda, tubuhku sangatlah kecil, tak mampu bersaing dengan bedebah lainnya diluar sana.
Aku menjerit sakit didalam hati, seolah Tuhan tengah memperolok diriku, menertawakanku di singga sana-Nya di Syurga sana. Jengkel, terhina, sakit dan perih tiap hari ku rasakan, namun aku hanya berharap bahwa Tuhan akan berhenti memberikan ujian padaku dan membuka pintu kasihNya padaku.

Malam semakin larut, surat kabar pagi yang ku jual sore hari, harus ku kembalikan pada penadah semuanya... Ya! semuanya, tak ada yang terjual satupun. Aku bingung harus berkata apa pada umi, dia mungkin kecewa padaku karena tak bisa membawa 1 rupiah pun padanya. Aku malu pada umi karena usahaku tak membuahkan hasil, aku kasihan pada umi karena hari ini umi dan aku harus menahan lapar lagi hingga matahari terbit esok pagi.

Seperti biasa, umi menyambutku malam itu ketika pulang. Aku hanya tinggal bersama umi. Aku tak pernah mendengar kabar ayah semenjak aku lahir, umi selalu melarangku mencari tahu tentang ayah tiap kali aku bertanya tentangnya. Aku menganggapnya beliau tengah pergi ke luar negeri dan tak bisa kembali, meski aku tahu bahwa ayah meninggalkan aku dan umi sendirian di gubuk kayu reot ini.

"Assalamualaikum, umi" Sahutku ketika berjalan masuk ke dalam rumah.

Umi keluar dari kamarnya dan menyambutku, "Wa'alaikum salam, Anan kok jam segini baru pulang? Umi khawatir" ucapnya lembut.

"Iya umi, Anan tadi jualan koran sehabis pulang sekolah".

"Tapi kamu sekolah kan tadi?" Tanya umi.

"Iya, umi.. Anan tadi sekolah." Jawabku,

Ku pandangi mata umi dalam, ia terlihat menahan beban yang sangat berat di matanya. Ungkapan mata umi masuk ke dalam hatiku, ia merasa iba melihatku harus bekerja banting tulang membantu kehidupan umi. Umi yang sehari-harinya bekerja menjadi buruh cuci keliling, tak cukup untuk membiayayai sekolahku dan kehidupan sehari-hariku. Untunglah aku adalah seorang anak tunggal, beban umi bisa berkurang sedikit karena tak perlu menanggung biaya yang banyak.

Kemudian aku pergi ke kamar, merebahkan tubuhku di atas kasur kapuk itu sambil memandangi langit-langit atap rumah. Tiap kali aku memandanginya aku selalu tersenyum, membayangkan jika aku bisa seperti mereka. Mengendarai mobil mewah, mempunyai rumah mewah dan bekerja seperti seorang bos atau semacamnya. Senyum kecil selalu muncul di bibirku tiap kali aku membayangkan hal itu. Aku selalu kagum dan ingin menjadi seperti mereka. Aku hanya ingin menjadi seperti mereka, terlepas dari siksaan dan ujian dunia ini.

"Ada apa, Anan?" Umi menghampiriku dan duduk di sebelahku.

"Anan tadi di jalan melihat banyak sekali mobil, umi. Anan membayangkan bagaimana jika Anan yang ada di dalam, membawa umi dan ayah bersama-sama mengelilingi ibukota bahkan dunia." Ujarku dengan polos.

Umi tersenyum dan tertawa kecil mendengar perkataanku. Ia mengusap kepalaku dengan lembut, kehangatannya dari tubuhnya dan kasih sayang tulusnya sampai pada diriku.

"Anan bisa kok jadi orang hebat seperti mereka. Punya mobil mewah, rumah mewah, harta berlimpah dan lain-lain. Anan bisa kok bawa umi pergi keliling dunia, lewat langit maupun laut. Umi yakin kalau Anan sekolahnya rajin dan gak pernah bolos-bolos, Anan bisa kok bahagiakan umi." Ucapnya padaku...

Aku tertegun dan termenung, memikirkan perkataan umi.

"Umi, kenapa hidup kita seperti ini? Umi selalu bilang bahwa Tuhan itu selalu menyayangi makhluknya, tapi mengapa Anan dan umi gak pernah merasakan kebahagiaan? Umi gak pernah pakai baju bagus, umi gak pernah bisa tinggal di rumah mewah, dan umi gak pernah bisa pergi lewat langit." Ucapku...

Umi pun tersenyum manis, menatap kedalam mataku...

"Anan, ingat ini ya... Tuhan sudah memberikan kebahagiaan yang paling indah kok buat umi dan Anan. Umi bahagia hidup sama Anan berdua, meski rumah kita cuma sebuah gubuk, meski umi gak bisa pakai baju bagus, ataupun umi gak pernah pergi lewat langit ke luar negeri. Tapi umi tetap bahagia kok, kenapa? Karena kebahagiaan umi bukan ada di harta... tapi ada di sini..." Umi sambil menunjuk hidungku. "Kebahagiaan umi yang gak pernah orang lain dapatkan, yaitu kamu. Kamu itu adalah kebahagiaan terbesar dari Tuhan buat umi. Siapa tau kalau kaya Anan gak pernah bisa duduk bareng umi disini, atau umi gak sayang Anan kalau umi kaya. Iya kan? Jadi, umi gak butuh harta yang sangat banyak atau bisa ke luar negeri, umi cuma bahagia kalau ada Anan disamping umi."

Aku pun menangis dan memeluk umi, aku menyesal berkata buruk pada Tuhan. Menyalahkan Tuhan atas semua kebahagiaan yang telah ia berikan. Tuhan memberikan kebahagiaan pada manusia bukan dari pandangan manusia, namun padangan-Nya sebagai Tuhan.

"Aku sayang umi, karena Allah...."

======================================================================

#CREATED BY: Aped

0 komentar:

Post a Comment